Sulit untuk
membantah pendapat yang menyatakan bahwa bangsa ini telah sangat
terpuruk. Salah satu penyebab keterpurukan bangsa ini adalah akibat
praktek-praktek korupsi, yang hingga hari ini belum juga bisa teratasi.
Bahkan korupsi di negeri ini sudah sampai pada titik nadir, sudah
sampai pada titik yang tidak dapat ditolerir lagi. Korupsi telah begitu
mengakar dan sistematis, bahkan seperti sudah menjadi budaya bangsa.
Ironis memang, tetapi itulah kenyataannya. Negara yang menjadikan
Pancasila sebagai dasar Negara, yang menjadikan Keadilan Sosial sebagai
tujuan yang harus dicapai untuk seluruh rakyatnya, ternyata menjadi
ladang subur koruptor selama lebih dari setengah umur kemerdekaan
negeri ini.
Sejak
awal kemerdekaan Indonesia, prilaku korupsi dalam lingkungan
aparatur pemerintahan sudah menjadi masalah yang sulit diberantas. Di
masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi
yaitu dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya,
lembaga ini disebut Panitia retooling Aparatur Negara ( Paran ) yang
dipimpin oleh AH Nasution. Mudah ditebak hasilnya, badan ini mendapat
tentangan dari para pejabat yang korup dengan dalih pertaggungan jawab
para pejabat itu adalah kepada presiden . Paran akhirnya dibubarkandan
dab menyerahkan kembali pelaksanaan serta kewenangan tugasnya kepada
Kabinet Djuanda. Tahun 1962 melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo
dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi . Kali
ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke
pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta
lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan
kolusi. Lagi - lagi alasan politis menyebabkan kemandekan dan bahkan
kemacetan dalam pemberantasan korupsi.
Pada masa awal Orde
Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto
terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas
korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana.
Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim
Pemberantasan Korupsi TPK ). . Perselisihan pendapat mengenai metode
pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di
kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan
pemberantasan korupsi yang pada akhirnya makin menguatnya kedudukan
para koruptor di singgasana Orde Baru. Setelah tumbanganya
kepemimpinan Suharto, upaya pemberantasan korupsi dimulai oleh oleh
penerusnya B.J. Habibie dengan
mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di
tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota
tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor
31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke
dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah
lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis hingga saat
ini.
Namun demikian, kiprah KPK yang mampu menghadapkan para petinggi negeri
ini seperti Mantan Kapolri Rusdiharjo atau para petinggi BI yang salah
satunya adalah besan SBY bukan berarti tidak mendapat tantangan. Kisah
kasus Cicak Vs Buaya yang ditengarai sebagai upaya kriminilisasi
pimpinan KPK oleh publik menggambarkan betapa kuatnya jaringan korupsi
dalam pemerintahan yang berkuasa dari masa kemasa sejak negara ini
didirikan. Upaya pelemahan KPK dengan berbagai cara seperti wacana
pembubaran KPK oleh kalangan DPR semakin menunjukkan adanya adu
kekuasaan antara yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara dengan
lembaga ini yang bertindak sebagai lembaga penghukum koruptor.
Sebagaimana disampaikan oleh Ketua KPK Busyro Muqqodas yang mengklaim
lembaga yang dipimpinnya tidak akan bisa diintervensi oleh siapapun
termasuk oleh parpol dalam menindak kejahatan korupsi, sebaliknya
pimpinan Komisi III DPR menyatakan agar KPK dibubarkan. Artinya, KPK
telah dinilai sebagai duri oleh lembaga yang mengesahkan undang2 negara
ini terutama sejak diperiksanya pimpinan Banggar DPR oleh KPK.
Jika menelaah kasus korupsi yang belakangan ini mencuat kepermukaan
pada tingkat pemerintahan pusat saja, kasus korupsi yang melibatkan
Nazaruddin yang adalah Anggota DPR dan kasus korupsi yang terjadi di
Kemenakertrans bahwa sesungguhnya korupsi dapat dilakukan oleh siapa
saja, baik legislatif maupun eksukutif. Lembaga legislatif dan
eksukutif hanyalah lembaga negara diatas kertas, namun dalam prakteknya
tidak ada pemisahan secara jelas, sebab pada dasarnya elit politik
negeri ini lebih memandangnya sebagai pengisian kursi atau kedudukan.
Seperti halnya reshuffle kabinet, diatas kertas adalah hak prerogative
presiden, namun dalam prakteknya parpol2 secara defakto memegang
keputusan. Sebagaimana pernyataan pimpinan parpol menyikapi tentang
reshuffle, etikanya presiden berkonsultasi dengan pimpinan parpol
tersebut. Atau pernyataan presiden yang memberikan kesempatan parpol
untuk menyiapkan kadernya untuk bergabung dengan kabinet. Pernyataan2
seperti itu sesungguhnya menggambarkan bahwa pemilihan umum hanyalah
mmerupakan legalisasi bagi2 kekuasaan dalam menduduki kursi2 yang
tersedia, baik itu pada lembaga legislatif maupun eksekutif namun
muaranya sama, semua dapat melakukan tindakan korupsi.
Dalam situasi seperti ini, dimana legislatif dan eksekutif sudah tidak
ada batasannya, lembaga KPK menjadi momok yang menakutkan. DPR yang
diatas kertas merupakan lembaga penyetuju undang2 termasuk menyangkut
undang2 yang menentukan eksistensi KPK, kewenangan itulah yang dipakai
untuk melakukan tekanan kepada KPK agar mengikuti irama yang terbentuk
dalam kekuasaan saat ini. Dilain sisi, pimpinan KPK yang tidak kebal
hukum, bukan tidak menghadapi resiko dikriminalisasi oleh lembaga
dibawah eksekutif. Tekanan dari sisi kiri dan kanan yang dialami oleh
KPK bukan pula tidak menghasilkan kompromi, pemberantasan korupsi hanya
sebatas operator lapangan sementara pelakunya tetap aman. Maka,
tidaklah mengherankan jika pemebrantasan korupsi seperti sekarang ini
yang mengesankan masih tebang pilih. Sehingga, wacana pembubaran KPK
oleh kalangan DPR maupun pernyataan tegas Ketua KPK hanyalah merupakan
komsumsi publik bahwa upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan
secara sungguh2.
Melihat sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia dari masa kemasa
diatas, mungkin sebuah renungan dapat kita ambil, bahwa sesungguhnya
pembentukan parpol di Indonesia hanyalah untuk memperebutkan keuangan
negara. Mereka para elit politik juga adalah bagian dari rakyat
Indonesia, selama rakyat masih menghendaki korupsi, tidak mungkin
korupsi dapat diberantas dari muka bumi Indonesia. Sebagai contoh
sederhana saja, umumnya aktivis yang menyatakan anti korupsi, ketika dia
berhasil menduduki kekuasaan apakah akan dijamin menjadi penguasa
yang bersih ?. Pada akhirnya kembali kepada masalah ekonomi bangsa
ini, banyak daerah yang masih dipengaruhi oleh anggaran pemerintah
pusat dimana riak ekonomi tergantung dari proyek pemerintah saja. Hal
ini disebabkan karena kebijakan pemerintah yang kurang mendukung
masyarakat menjadi masyarakat yang produktif. Manusia adalah sumber
daya utama yang banyak disia2kan dengan mendorong pertumbuhan TKI
sebagai jalan pintas mendatangkan devisa. Padahal, para TKI menjadi
tenaga produktif dinegara orang, sementara negara kita tetap menjadi
negara konsumtif. Kelangkaan lapangan kerja inilah yang sesungguhnya
menimbulkan orientasi pada penguasaan keuangan negara. Yang tidak
bersentuhan dengan keuangan negara baik oleh karena tidak memiliki
kesempatan maupun yang memang tidak ingin terlibat, menjadi tenaga
produktif dinegara lain, langsung tidak langsung akan memajukan negara
lain. Sebuah konsekwensi yang sangat logis, bahwa sedikit demi sedikit
negara kita akan digerogoti oleh negara asing. Seperti halnya negara
Malaysia yang relatif lebih maju dari Indonesia, walaupun jumlah
penduduknya lebih sedikit, dengan kekuatan ekonominya sangat mungkin
mampu menguasai bisnis di Indonesia. Paling tidak melalui modal
perbankan yang nantinya mampu mendikte dunia usaha di Indonesia dengan
memberikan porsi kredit konsumtif yang mengikat bangsa ini secara
ekonomi. Padahal, untuk sebuah kemajuan diperlukan kredit produktif.
Terhambatnya pembangunan infrastruktur ekonomi karena korupsi,
pertarungan KPK Vs Koruptor yang hanya ingin menyenangkan rakyat, yang
menang adalah bangsa lain seperti Malaysia itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Siapa yang suka olahraga gabung aje kemari kita share ?